Aku dan Kalaodi
(Sebuah tulisan biasa
untuk menyambut Festival Kalaodi 2018)
 |
Syafitri Zahra Togubu |
Kalaodi, sebuah nama desa
yang letaknya berada di ketinggian Kie Matubu (nama gunung dari Pulau Tidore).
Kalaodi adalah desa bagian dari Kecamatan Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan,
Provinsi Maluku Utara. Karena letaknya di ketinggian, suasana di desa Kalaodi
begitu asri, sejuk dan damai. Seperti namanya, Kalaodi tak beda jauh dengan
kata dalam bahasa inggris, yakni cloudy yang
artinya berawan.
Hal ini memang benar adanya, bahwa Kalaodi adalah desa yang
secara geografis memiliki letak yang begitu dekat dengan langit dan awan. Ini
bukan berarti dari Kalaodi kita bisa menyentuh langit secara langsung. Tetapi,
karena berada di ketinggian, maka bila kita menatap ke langit, langit itu
terasa begitu dekat dari pandangan kita. Bila beruntung, kita akan disuguhi
pemandangan yang sangat sayang bila dilewatkan begitu saja, yakni ketika kabut
turun dari langit dengan perlahan, lalu
kabut itu akan menyelimuti seisi desa dengan kedamaian yang menentramkan hati.
Kalaodi bukanlah desa
yang baru muncul pada waktu sekarang ini. Keberadaan kalaodi sudah ada sebelum
bangsa Indonesia diakui kemerdekaannya oleh seuruh negara di dunia. Kalaodi
adalah saksi perjuangan seorang pemimpin yang luar biasa, yakni Sultan Nuku
kala akan melakukan pemberontakan pada Belanda. Menurut ceritanya, Kalaodi
adalah bagian dari incaran Belanda, agar hasil komoditas desa ini, yakni
cengkih dan pala, bisa dimonopoli. Dalam hati, aku merenung berarti desa ini
bukanlah desa yang bisa diremehkan keberadaannya. Pada musim panen, seluruh
rumah yang ada akan ramai dengan petikan buah cengkih dan aroma khas buah pala.
Pohon pala dan cengkih sendiri akan kita temui dalam setiap jengkal tanah desa
ini. Sungguh, Allah Maha Baik.

Pesona Kalaodi tak
hanya terdapat pada alamnya semata. Namun, juga pada masyarakatnya. Tawa dan
keceriaan bocah-bocah Kalaodi akan membuat hati kita terpanggil untuk
mengadakan segala ikhtiar yang baik bagi keberlangsungan hidup dan cita-cita
mereka. Ramahnya perlakuan masyarakat bisa dilihat dari bagaimana cara mereka
memuliakan tamu-tamu yang berkunjung ke desanya. Di Kalaodi, kita benar-benar
jauh dari hingar-bingarnya kota, bahkan sinyal telepon pun masih sangat lemah ketika
digunakan. Jadi, Kalaodi itu benar-benar tempat yang cocok untuk merenungi diri
sekaligus mencari inspirasi untuk langkah ke depannya nanti. Aku sudah
melakukan ini dan menikmati hasilnya.
Kultural masyarakat
Kalaodi yang begitu dekat dengan alam menjadikan alam pun senantiasa menjaga
mereka sekalipun desa ini berada di antara bebukitan yang tinggi menjulang.
Baru-baru ini, di Kalaodi diadakan ritual Paca Goya, sebuah ritual untuk
memberikan nafas atau jeda pada alam setelah musim panen usai digelar. Selama
tiga hari, masyarakat Kalaodi tidak melakukan aktivitas di luar rumah, baik
bersekolah maupun berkebun. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama bahkan
bisa dikatakan sejak berates-ratus tahun yang lalu. Inilah menjadikan Kalaodi
begitu kharismatik dengan segala ketenangannya.
Berdasarkan kondisi
nyata ini, rasanya tak salah bila dalam beberapa hari ini Kalaodi akan
dikunjungi oleh seluruh lapisan masyarakat, sebab Festival Kalaodi akan
diberlangsungkan di sana. Festival ini diadakan oleh komunitas yang begerak di
bidang lingkungan hidup, baik di darat maupun di laut, dan komunitas ini sering
menjadikan Kalaodi sebagai tempat riset maupun memainkan peran mereka dalam
menjaga keasrian alam dari Kalaodi ini. Aku memang bukan perempuan yang menanam
ari-arinya di desa Kalaodi, tapi seluruh jiwaku terparti utuh di sana. Jangan
coba-coba mengusik ketenangan Kalaodi dengan kapitalisme yang terbungkus
tawaran-tawaran manis yang nantinya menyebabkan alam murka. Kalaodi adalah
warisan yang harus dijaga hingga nanti.

Bagiku, kalaodi bukan
hanya sekedar desa di ketinggian. Kalaodi adalah rumah. Yang akan selalu aku
datangi selama hayatku masih bergema di dalam raga ini. Kalaodi adalah sumber
inspirasi yang setiap lekuk dirinya mampu menghadirkan sajak-sajak maha indah
dari mereka yang lihai bermain diksi. Kalaodi adalah cinta yang tak lekang oleh
waktu. Percayalah, sekali saja kau berkunjung ke sana, maka kau akan berhasrat
untuk kembali meski sudah berkali-kali. Kalaodi, tetaplah sederhana tanpa
kemewahan yang taka ada akhirnya.
Oleh : Syafitri Zahra Togubu