Selasa, 27 November 2018

KASTIL ( IV ) By: kingLaef

KASTIL ( IV ) 


Ouuuuuu.... 
Euthanasia.... 
Salam Tuan dan Puan... 
Aku lelaki gila yang kalian kafiri namun tak mau berhenti menjaga api. Senin mencair, selasa kupenuhi cangkir yang pandir. Aku fakir ilmu senapan dan angin bawah tanah kikis tersingkir di dubur wasir, kufurlah wahai pedofil. 
kastil_KingLaef
Until siasat di isu kata per kata aku amini dalam kamus kepala usang, kala telinga telaah dengan seksama doa si Insthinc. 
Amiinnn... 
Kalian Manekin... 
Seperti pasrahnya warga diperkosa kartel dengan adanya TPA ilegal di pulau kalymnos, asap bak pedang, menghunus paru-paru dengan slogan pengembangan wisata. 
Sampah.. Sumpah dibakar dengan hajat resiko bersama, Seperti Walk of fame palsu dijalanan california. Gondok seisi tenggorok, bila lihai meneguk fatwa si oximoron, gorok adegan peduli dengan belati Gorki yang haus bercinta dengan anarki. 

Sajak ini untuk kita yang tak lagi menimbang setengah diri tapi nimbrung mencandui berbau explicit seperti content brutal media meriwayatkan kematian Khasogi namun melewatkan wacana eksekusi TKI Indo. Bajingan di tempat ke empat tanpa mengumpat, antagonis berbagai serial aku bak Minak jinggo, yang terus menjaga waras dari ternak hoax Bolsonaro. 

Ah nisan dalam nalarku. Terbaring di kasur kenangan memeluk tinta sebagai guling, selimut kain kafan dari penyair Kafka dan alas buku berdebu tetua musafir makkiah. Aku masih menari bersama hilangnya jejak si Semar yang menaruh setiap karya Zine-nya dengan anti copyright. " Segera tiba.. Hari-hari mencekam akan segera tiba. Melesap dengan cepat mengurungmu dengan alinea, siapkan pena dan tulisi dengan kata-kata paras-paras yang membuat keringat mengucur memeras bongkah-bongkah peristiwa.

Tak abadi.... 
Aku mati menggenggam dua dawai tangkai padi....
Yang satu siap bersemi....
Yang satu telah berseri....

BERSAMBUNG. . . . . 
#KING_LAEF 
#PANG

Jumat, 16 November 2018

Aku dan Kalaodi (Sebuah tulisan biasa untuk menyambut Festival Kalaodi 2018) II SZT


Aku dan Kalaodi
(Sebuah tulisan biasa untuk menyambut Festival Kalaodi 2018)



 
Syafitri Zahra Togubu
          Kalaodi, sebuah nama desa yang letaknya berada di ketinggian Kie Matubu (nama gunung dari Pulau Tidore). Kalaodi adalah desa bagian dari Kecamatan Tidore Timur, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Karena letaknya di ketinggian, suasana di desa Kalaodi begitu asri, sejuk dan damai. Seperti namanya, Kalaodi tak beda jauh dengan kata dalam bahasa inggris, yakni cloudy yang artinya berawan.
Hal ini memang benar adanya, bahwa Kalaodi adalah desa yang secara geografis memiliki letak yang begitu dekat dengan langit dan awan. Ini bukan berarti dari Kalaodi kita bisa menyentuh langit secara langsung. Tetapi, karena berada di ketinggian, maka bila kita menatap ke langit, langit itu terasa begitu dekat dari pandangan kita. Bila beruntung, kita akan disuguhi pemandangan yang sangat sayang bila dilewatkan begitu saja, yakni ketika kabut turun dari langit  dengan perlahan, lalu kabut itu akan menyelimuti seisi desa dengan kedamaian yang menentramkan hati.             
Kalaodi bukanlah desa yang baru muncul pada waktu sekarang ini. Keberadaan kalaodi sudah ada sebelum bangsa Indonesia diakui kemerdekaannya oleh seuruh negara di dunia. Kalaodi adalah saksi perjuangan seorang pemimpin yang luar biasa, yakni Sultan Nuku kala akan melakukan pemberontakan pada Belanda. Menurut ceritanya, Kalaodi adalah bagian dari incaran Belanda, agar hasil komoditas desa ini, yakni cengkih dan pala, bisa dimonopoli. Dalam hati, aku merenung berarti desa ini bukanlah desa yang bisa diremehkan keberadaannya. Pada musim panen, seluruh rumah yang ada akan ramai dengan petikan buah cengkih dan aroma khas buah pala. Pohon pala dan cengkih sendiri akan kita temui dalam setiap jengkal tanah desa ini. Sungguh, Allah Maha Baik.


            Pesona Kalaodi tak hanya terdapat pada alamnya semata. Namun, juga pada masyarakatnya. Tawa dan keceriaan bocah-bocah Kalaodi akan membuat hati kita terpanggil untuk mengadakan segala ikhtiar yang baik bagi keberlangsungan hidup dan cita-cita mereka. Ramahnya perlakuan masyarakat bisa dilihat dari bagaimana cara mereka memuliakan tamu-tamu yang berkunjung ke desanya. Di Kalaodi, kita benar-benar jauh dari hingar-bingarnya kota, bahkan sinyal telepon pun masih sangat lemah ketika digunakan. Jadi, Kalaodi itu benar-benar tempat yang cocok untuk merenungi diri sekaligus mencari inspirasi untuk langkah ke depannya nanti. Aku sudah melakukan ini dan menikmati hasilnya.             

Kultural masyarakat Kalaodi yang begitu dekat dengan alam menjadikan alam pun senantiasa menjaga mereka sekalipun desa ini berada di antara bebukitan yang tinggi menjulang. 

Baru-baru ini, di Kalaodi diadakan ritual Paca Goya, sebuah ritual untuk memberikan nafas atau jeda pada alam setelah musim panen usai digelar. Selama tiga hari, masyarakat Kalaodi tidak melakukan aktivitas di luar rumah, baik bersekolah maupun berkebun. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama bahkan bisa dikatakan sejak berates-ratus tahun yang lalu. Inilah menjadikan Kalaodi begitu kharismatik dengan segala ketenangannya.            

Berdasarkan kondisi nyata ini, rasanya tak salah bila dalam beberapa hari ini Kalaodi akan dikunjungi oleh seluruh lapisan masyarakat, sebab Festival Kalaodi akan diberlangsungkan di sana. Festival ini diadakan oleh komunitas yang begerak di bidang lingkungan hidup, baik di darat maupun di laut, dan komunitas ini sering menjadikan Kalaodi sebagai tempat riset maupun memainkan peran mereka dalam menjaga keasrian alam dari Kalaodi ini. Aku memang bukan perempuan yang menanam ari-arinya di desa Kalaodi, tapi seluruh jiwaku terparti utuh di sana. Jangan coba-coba mengusik ketenangan Kalaodi dengan kapitalisme yang terbungkus tawaran-tawaran manis yang nantinya menyebabkan alam murka. Kalaodi adalah warisan yang harus dijaga hingga nanti.


            Bagiku, kalaodi bukan hanya sekedar desa di ketinggian. Kalaodi adalah rumah. Yang akan selalu aku datangi selama hayatku masih bergema di dalam raga ini. Kalaodi adalah sumber inspirasi yang setiap lekuk dirinya mampu menghadirkan sajak-sajak maha indah dari mereka yang lihai bermain diksi. Kalaodi adalah cinta yang tak lekang oleh waktu. Percayalah, sekali saja kau berkunjung ke sana, maka kau akan berhasrat untuk kembali meski sudah berkali-kali. Kalaodi, tetaplah sederhana tanpa kemewahan yang taka ada akhirnya.


Oleh : Syafitri Zahra Togubu

BATU BARA MENGETUK PINTU

KingLaef & Asar Shame Terseret abad revolusi industri Patani Timur, Desa Peniti Damuli, Mendengar kabar saja Sun...